|
Illustration - ciptaDesa.com |
Pengantar Tim Penyusun
Sampailah pada saat yang berbahagia ini, Tim Penyusun dengan bangga menghaturkan naskah rumusan buku putih bertajuk Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa kepada pembaca budiman semua. Selama kurang dari satu bulan, Tim Penyusun bergulat intens dengan tumpukan dokumen dan naskah yang diproduksi selama Kongres Kebudayaan Desa (KKD) berlangsung. Substansi rumusan tata nilai dan tata kehidupan baru bernegara dan bermasyarakat ini merupakan sari pati dari pergulatan gagasan dan sharing pengalaman dalam KKD, dari 1 Juni hingga 15 Agustus 2020, yang terhimpun dalam lembaran dokumen seperti survei online “Dari Desa untuk Indonesia”, 18 seri webinar KKD, 2 seri webinar khusus, 8 sesi talkshow masyarakat adat, dan call for papers.
Formulasi arah tatanan Indonesia baru dari desa itu telah termaktub secara ringkas dan padat dalam rumusan visi Indonesia baru dari desa yang berbunyi sebagai berikut: “Terselenggaranya politik pemerintah desa yang jujur, terbuka, dan bertanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang partisipatif, emansipatif, tenggang rasa, berdaya tahan, mandiri, serta memuliakan kelestarian semesta ciptaan melalui pendayagunaan datakrasi yang ditopang oleh cara kerja pengetahuan dan pengamalan lintas ilmu bagi terwujudnya distribusi sumber daya yang setara untuk kesejahteraan warga dalam bingkai kebhinekaan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Terdapat tiga misi yang diposisikan sebagai cara pencapaian demi terwujudnya visi Indonesia baru dari desa tersebut, yaitu: pertama, menjadikan desa sebagai arena demokrasi politik lokal sebagai wujud kedaulatan politik; kedua, menjadikan desa sebagai arena demokratisasi ekonomi lokal sebagai wujud kedaulatan ekonomi; ketiga, pemberkuasaan melalui aktualisasi pengetahuan warga sebagai wujud kedaulatan data.
Maksud penyusunan dokumen ini adalah untuk memberi panduan bagi pemerintahan desa dalam upaya merevisi atau menyusun rencana pembangunan jangka menengah desa dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi pandemi Covid-19. Dokumen ini dimaksudkan pula sebagai panduan arah tatanan Indonesia baru dari desa.
Penyusunan dokumen ini memiliki beberapa tujuan penting sebagai berikut: pertama, pada tataran konseptual: untuk menggali pemikiran-pemikiran dari para akademisi, pemikir, peneliti, praktisi, birokrat, pelaku bisnis, dan media yang selanjutnya diformulasikan menjadi dokumen konseptual hasil olah pikir dan nalar budi; kedua, pada tatanan praksis: untuk menghasilkan dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa) yang akan memberi pola tata kelola pemerintahan dan tata hidup baru warga desa di seluruh Indonesia.
Secara khusus, dokumen ini memiliki sejumlah manfaat praktis berikut ini: pertama, ketentuan tentang arah tatanan Indonesia baru dari desa; kedua, tersusunnya acuan pembuatan RPJMDesa yang dapat menjadi rujukan pembuatan/revisi RPJMDesa desadesa di Indonesia; ketiga, terumuskannya tata nilai perilaku dan kebudayaan masyarakat desa yang dimulai dengan semangat dan tatanan Indonesia baru.
Penyajian buku putih ini terpilah ke dalam enam pembabakan berikut: Bab pertama memuat latar belakang, maksud dan tujuan, tentang pentingnya menginisiasi arah tatanan Indonesia baru yang disusun secara partisipatif di tengah kepungan pandemi Covid-19. Bab kedua menyajikan paparan evaluasi kebijakan pembangunan desa dan imaji warga desa untuk tatanan Indonesia baru tersebut. Bab ketiga menyajikan perincian persoalan dan isu-isu strategis yang berkaitan dengan tiga pilar kemandirian desa (politik, ekonomi, dan data). Bab keempat memaparkan hasil rumusan visi besar tatanan Indonesia baru dari desa dan tiga misi kedaulatan yang dijadikan sarana untuk menyasar visi besar tersebut, yaitu: kedaulatan politik dan pemerintahan desa, kedaulatan perekonomian desa, dan kedaulatan data desa. Bab kelima memuat perincian arah kebijakan strategis yang terpilah dalam rumusan program dan indikator berdasarkan kerangka tiga pilar utama, yaitu: pilar kedaulatan ekonomi, pilar kedaulatan politik, dan pilar kedaulatan data desa. Bab keenam memuat rumusan-rumusan kesimpulan dan rekomendasi yang bisa mempertegas berbagai langkah penting bagi terwujudnya arah tatanan Indonesia baru dari desa tersebut.
Mengingat keterbatasan waktu dan proses penyusunan buku ini, Tim Penyusun menyadari sejumlah kekurangan yang sulit dihindari dan ditolak kehadirannya. Kekurangan yang paling mencolok dan gampang ditemukan adalah: pertama, dominannya penggunaan bahasa akademik di sekujur bab-bab buku ini. Hampir bisa dipastikan khalayak luas membutuhkan cara baca ekstra untuk bisa memahami arti dan makna bahasa yang abstrak dan tinggi itu. Sajian daftar istilah (glosary) bisa sedikit meringankan pembaca, meski tetap tidak bisa mengubah fakta. Tim Penyusun menyadari pentingnya me-reformulasi naskah ini dengan bahasa yang lebih ugahari sehingga bisa menjangkau khalayak yang lebih luas lagi.
Kedua, terdapat perulangan kalimat yang sama (duplication) dan tersebar di sana-sini (redundancy), terutama pada “Bab 3: Problematika dan Isu-Isu Strategis”. Duplikasi dan redandensi itu tak terhindarkan karena rumusan persoalan yang sama memiliki irisan keterkaitan di antara isu-isu strategis yang menjadi kerangka pengklasifikasiannya. Tim Penyusun menyadari pentingnya merombak cara pengklasifkasian atas berbagai problem dan isu strategis itu ke dalam format yang lebih sinergis, sistematis, dan menunjukkan kesalingterkaitan antarklasifkasi isu strategis.
Ketiga, dominannya bahasa teknokratis yang tersaji pada sekujur “Bab 5: Arah Kebijakan Strategis”, yang terklasifkasi ke dalam tiga pilar kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi, dan kedaulatan data, besar kemungkinan membuat naskah terasa “garing” dan menjemukan bagi sebagian besar kalangan. Namun, Tim Penyusun meyakini bahwa persis pada bab inilah konsepkonsep abstrak dan ideal tentang arah tatanan Indonesia baru dari desa mendapati titik pertaruhannya untuk bisa diejawantahkan ke dalam implementasi program yang lebih operasional dengan dipandu oleh sejumlah indikator capaian yang lebih terukur. Tim Penyusun menyadari formulasi program-program teknokratis berikut indikator-indikator yang tersaji masih tampak general sehingga belum berhasil menyajikan pengklasifkasian secara terpilah dan rinci atas program dan indikator berdasarkan tipologi atau klasifkasi desa-desa di seluruh Indonesia, seperti desa dan/atau masyarakat adat pesisir pantai, pegunungan, dataran, pedalaman, dan lain sebagainya.
Keempat, sebagai rangkuman atas seluruh paparan bab terdahulu, “Bab 6: Kesimpulan dan Rekomendasi”, kurang menyajikan secara lengkap rujukan-rujukan regulasi, perundangan, dan kebijakan yang perlu diamendemen dan diubah sebagai prasyarat bagi terimplementasikannya gagasan ideal dalam klausul-klausul arah tatanan Indonesia baru dari desa ini. Tim Penyusun menyadari perihal banyaknya regulasi dan kebijakan yang perlu diamendemen/ diubah agar tidak menjadi batu sandungan bagi terealisasinya gagasan ideal yang dirumuskan secara partisipatif oleh warga dalam naskah ini. Mohon para pembaca budiman memaklumi kekurangan ini dan izinkan Tim Penyusun memosisikannya sebagai agenda lanjut yang perlu dituntaskan segera dalam tempo pendek mendatang.
Tim Penyusun menyadari tidaklah mudah memahami dan menerapkan gagasan besar dari arah tatanan Indonesia baru dari desa ini. Lantas bagaimana cara memahami substansi buku putih tersebut agar bisa digunakan dan diterapkan di tataran riil masyarakat desa? Tidak ada rumusan tunggal untuk memahami substansi buku putih ini. Jauh dari pretensi untuk menggurui, berikut ini adalah cara baca yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca budiman sebagai sebuah tawaran alternatif saja.
Langkah pertama, para pembaca perlu menuntaskan bab pertama dan bab keempat sebagai bacaan wajib untuk memahami seluruh latar belakang, konteks, maksud dan tujuan, visi dan misi dari penyusunan buku putih Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa ini.
Langkah kedua, membaca kedua bacaan wajib (bab 1 dan bab 4) di atas akan menuntun pembaca agar punya fokus ketertarikan lanjutan masing-masing. Bila fokus ketertarikan Anda adalah isuisu kebijakan tentang desa maka Anda bisa langsung masuk ke bab kedua. Bila fokus ketertarikan Anda adalah inventarisasi masalah desa di masa pandemi maka Anda bisa langsung masuk ke bab ketiga. Bila fokus ketertarikan Anda adalah rumusan program strategis di tingkat desa pascapandemi maka Anda bisa menyimak langsung bab kelima. Bila fokus ketertarikan Anda adalah usulan-usulan besar dan penting apa yang bisa diterapkan di desa maka Anda bisa langsung membaca catatan rekomendasi.
Langkah ketiga, apabila pembaca mendapati istilah-istilah yang sulit dipahami maknanya, Anda mungkin perlu mengacu pada daftar istilah (glosary) berikut penjelasan artinya yang sudah disajikan pada halaman-halaman awal buku putih ini. Dengan mengacu pada daftar istilah tersebut, pembaca akan relatif terbantu dalam memahami makna yang tepat/pas sesuai dengan konteks persoalan di masing-masing desa.
Demikian catatan pengantar yang bisa kami haturkan. Besar harapan kami mendapatkan kritik dan masukan dari para pembaca budiman. Bagi kami, kritik dan masukan itu sangat berharga untuk proses penyempurnaan lanjut atas berbagai kekurangan yang ada dalam buku putih edisi perdana ini. Selamat membaca. Salam Budaya Desa!
Kata Tokoh
Wahyudi anggoro hadi
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, salam sejahtera bagi semua, om swastiastu, namo budhaya, salam kebajikan.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Gus Abdul Halim Iskandar; Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Hilmar Farid; Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berkenan mewakili Bapak Giri Suprapdiono, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK RI; Gubernur DIY, yang berkenan mewakilkan Wakil Gubernur Sri Paduka Paku Alam X; dan segenap kawan dan jaringan kerja Kongres Kebudayaan Desa yang kami muliakan.
Selaku salah satu penggagas sekaligus penanggung jawab kegiatan Kongres Kebudayaan Desa 2020, kami menyampaikan rasa syukur ke hadirat Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam. Teriring ucapan terima kasih kepada Bapak Ibu Saudara sekalian yang telah berkenan mengikuti rangkaian kegiatan kongres sekaligus memberikan dukungan kepada segenap kerabat kerja kongres sehingga semua rangkaian kegiatan dapat terselenggara dengan baik.
Kongres Kebudayaan Desa bertujuan untuk merumuskan gagasan tatanan Indonesia baru yang berasal dari alam pikiran nusantara, alam pikiran desa. Agar “kenormalan baru” atau “new normal” tidak hanya dimaknai secara teknis sebagaimana memakai masker, cuci tangan menggunakan sabun, dan menjaga jarak fsik. Namun, “kenormalan baru” harus dimaknai lebih substantif dengan merancang ulang tatanan hidup dalam berdesa, berbangsa, dan bernegara.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kehadiran Covid-19 telah mendekonstruksi semua tatanan hidup, sekaligus menunjukkan bagaimana desa pada kenyataannya menjadi kanal pertahanan terakhir bagi bangsa dan negara dalam menghadapi krisis. Desa membuktikan ketangguhannya dalam melewati masa pandemi.
Ketangguhan desa tidak hanya oleh karena desa memiliki air dan udara bersih maupun pangan sehat—yang ketiganya komoditas strategis dunia—tetapi juga oleh karena desa memiliki pranata sosial berupa agama dan kebudayaan, di mana agama tidak hanya berhenti sebagai ritus ataupun kebudayaan tidak hanya tampak sebagai ekspresi, tetapi juga keduanya hadir sebagai basis nilai dalam berelasi, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Basis nilai yang mengatur relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan pencipta-Nya.
Desa menjadikan kekeluargaan sebagai basis nilai berelasi secara sosial yang kemudian menjadikan desa sebagai tempat berlindung paling aman di saat semua institusi sosial formal lainnya dinihilkan perannya oleh Covid-19.
Desa menjadikan kerja sama sebagai basis nilai dalam berelasi secara ekonomi yang kemudian menjadikan desa sebagai tempat berpulang dan sebagai sandaran hidup terakhir di saat kota dengan segala atribut ekonominya tumbang.
Dan desa menjadikan musyawarah sebagai basis nilai dalam berelasi secara politik yang kemudian menjadikan desa sebagai tempat ditemukannya kembali martabat sebagai manusia yang berdaulat. Kekeluargaan dalam relasi sosial, kerja sama dalam relasi ekonomi, serta musyawarah dalam relasi politik yang kemudian menjadikan desa sebagai tempat ditemukannya kembali martabat sebagai manusia berdaulat.
Kekeluargaan dalam relasi sosial, kerja sama dalam relasi ekonomi, serta musyawarah dalam relasi politik adalah makna operatif dari gotong royong, sebuah pranata sosial yang lahir dari alam pikiran nusantara, alam pikiran desa.
Kekuatan desa yang telah terbukti mampu menjadi kanal pertahanan terakhir bangsa, kemudian dibahas dan dikaji melalui serangkaian kegiatan riset partisipatif-melibatkan ribuan warga desa sampai pelosok nusantara sebagai responden. Gagasan dalam bentuk tulisan maupun sebagai kajian didiskusikan dalam serial webinar yang akan dipadupadankan dengan tatanan masa depan Indonesia—berangkat dari perspektif masyarakat adat yang diwakilkan oleh 13 sub-kebudayaan nusantara. Inilah yang akan dibaca dan dikonstruksikan sebagai tatanan baru dalam hidup berdesa, berbangsa, dan bernegara.
Buku Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa adalah buku putih RJPMDesa sekaligus acuan dalam membaca 20 buku bunga rampai hasil rumusan Kongres Kebudayaan Desa 2020: Membaca Desa, Mengeja I-N-D-O-N-E-S-I-A. Terakhir, karena desa adalah ibu bumi, sebagai tempat kembali dan berbagi, maka penghormatan negara atas desa akan menjadi prasyarat kunci memenangkan tantangan masa depan. Oleh karenanya JANGAN TINGGALKAN DESA karena desa layak diperjuangkan.
Demikian sekapur sirih dari kami, kurang lebihnya mohon maaf, terima kasih. Akhiron Wallahul Muwafq Ilaa Aqwa Mith Toriq. Wassalam. Panjang Umur Perjuangan dan Salam Budaya Desa.
Kepala Desa Panggungharjo
Giri Suprapdiono
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, salam sejahtera bagi kita semua, om swastiastu, namo budhaya, salam kebajikan.Melawan korupsi dari desa.
Pergeseran nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan menjadi “pekerjaan rumah” kita bersama. Semakin banyak anak-anak muda kota yang meski tumbuh di desa, tetapi terjangkit penyakit materialisme. Tercerabutnya suasana dan pikiran desa membuat banyak orang berpikir: apa yang ada dalam pikiran mereka hingga tercerabut dari budaya desanya, padahal berasal dari desa?
Kira-kira apa masalahnya di Indonesia? Keteladanan kepala desa dan orang tua menjadi sangat penting. Guru agama pun tak kalah penting. Di kota semakin hilang keteladanan dan sikap apresiasi sehingga muncul materialisme di masyarakat kota. Tentu butuh obat dengan sikap keteladanan dan orang yang sudah harus selesai dengan dirinya. Sikap spiritual ini banyak ditemukan di desa, harmonisasi alam dan manusia di desa baiknya tidak sekadar jadi inspirasi, tetapi harus dipraksiskan.
Materialisme yang menghantui pikiran orang kota bukan pepohonan dan sawah, melainkan mengumpulkan logam-logam. Bentley, Lamborghini, dan mobil-mobil mewah lainnya semua ada di parkiran Komisi Pemberantasan Korupsi, sitaan dari kasus korupsi. Kumpulan mobil itu menjadi tidak penting. Namun, mengapa masih ada orang-orang yang ingin memilikinya dengan cara salah: korupsi? Apakah ada yang salah dengan pikiran orang kota? Kita perlu rekonstruksi bagaimana pikiran orang desa yang simpel: naik angkot, truk, dan moda transpor publik lainnya yang lebih fungsional.
Mari kita tengok pemikiran ekonom peraih Nobel: When enough is not enough, a hedonist is born. Ketika cukup sudah dianggap tidak cukup maka penyakit cinta dunia materialistis akan tumbuh. Pemenang Nobel ini sangat spiritual, seperti ajakan kembali ke desa dan mendalami pemikiran sederhana orang-orang desa. Namun pada prinsipnya, urusan menimbun kekayaan adalah penyakit semua orang, baik orang kota maupun orang desa.
Tantangan yang tidak kalah besar di desa, salah satunya money politic. Ternyata sistem politik yang kita pilih kemudian menular. Pemilihan bupati, gubernur, sampai tingkat pusat penuh syarat money politic. Berharap untuk pilkades tidak ada money politic. Namun, harapan itu membentur kenyataan. Bahkan saling menularkan, baik dari desa ke kota maupun sebaliknya. Jadi, apakah desa menjadi inspirator korupsi karena money politic pilkades?
Sebenarnya sumber permasalahan ada pada politik yang tidak rasional. Kenapa tidak rasional? Kepala desa tidak ada gaji, tetapi dibayar dengan bengkok. Bengkok untuk pembangunan desa kemudian diasosiasikan menjadi milik kepala desa. Kalau panen padi tiga kali dalam setahun, dihitung paling tidak pendapatan 200 juta. Kemudian dikalikan berapa ton pemimpin ketemu angka, kalau dikeluarkan 1 miliar maka untung sedikit. Itu dari bengkok. Sementara dari dana desa maupun beberapa bantuan pembangunan infrastruktur dari pusat bisa menjadi bumerang dan jebakan pikiran koruptif. Ini harus kita pecahkan bersama karena tantangan di desa hari ini berbeda dengan dahulu.
Sistem politik yang kita pilih mahal, sistem terbuka. Sementara pendanaan negara untuk partai politik rendah. Konversi suara ternyata sering kali tidak berbanding lurus dengan pendanaan secara rasional kepada partai politik. Contohnya, gaji bupati 6,5 juta, gubernur 8,5 juta, dan wakil presiden 40 juta yang dinilai tidak laik dengan proses ketika mereka terpilih. Negara harus sudah mulai memikirkan kepala desa digaji yang cukup. Di Surabaya contohnya: lurah digaji 30 juta, camat bisa 50 juta, tetapi di desa-desa lain bagaimana? Sehingga yang terjadi, tidak sedikit kasus kepala desa hasil pemilihan secara money politic, kemudian melakukan upayaupaya yang merusak perilaku masyarakat desa itu sendiri.
Mengapa 36 persen pelaku korupsi yang ditahan KPK adalah kader politik, anggota DPR, dan kepala daerah? Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Angka politik sangat memengaruhi angka persepsi indeks korupsi Indonesia, jadi varietas demokrasi proyek angkanya 28, sementara dari lulusan ekonomi ratingnya 59. Jadi angka-angka ini merupakan perbandingan korupsi yang diperbandingkan setiap negara. Untuk kasus Indonesia cukup menarik karena terus menanjak, ini jarang terjadi di negara lain.
Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain, terbaik di dunia untuk pergerakannya. Dari 17 ke 40, naik 23 poin. Cina memberantas korupsi dengan hukuman mati naik 7 poin. Kemudian Malaysia di bawah kepemimpinan Mahathir bisa reborn setelah di zaman Najib turun 47. Itu pun hanya menaikkan Malaysia di angka 2 poin saja. Jadi, Indonesia sudah benar dalam pemberantasan korupsi, tetapi terlalu kaya dengan isu kota sehingga di desa juga perlu dilibatkan pemberantasan korupsi. Untuk itu, ada tiga strategi yang dilakukan KPK: Penindakan agar koruptor jera, pencegahan agar orang tidak melakukan korupsi, pendidikan agar orang tidak ingin korupsi. Demikian sekapur sirih dari kami untuk 21 judul buku hasil rumusan Kongres Kebudayaan Desa. Terima kasih.
Direktur Dikyanmas KPK
Abdul Halim Iskandar
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, salam sejahtera bagi kita semua, om swastiastu, namo budhaya, salam kebajikan.Pertama-tama, mari kita bersama-sama bersyukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya sehingga kita dapat melaksanakan Kongres Kebudayaan Desa tahun 2020. Ini adalah satu momentum yang sangat luar biasa, titik pijak atau titik tolak dari kebangkitan desa-desa yang memiliki akar budaya, di mana perencanaan pembangunan dan pelaksanaan pembangunan desaKongres Kebudayaan Desa | xxi jangan sekali-kali lepas dari tumpuan akar budaya desa setempat. Mudah-mudahan kongres ini merupakan awal untuk kongres kebudayaan desa tahun-tahun berikutnya. Kedua, selawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. yang memberi cetak tebal kebudayaan manusia di muka bumi.
Melalui kongres desa, kita semua sudah diberikan pandangan dan paradigma baru dalam melihat dunia, termasuk kebudayaan. Kita tentunya semakin sadar bahwa di balik pandemi Covid-19 terdapat ujian sekaligus hikmah. Kita belum tahu kapan tuntasnya, tetapi kita harus mengambil langkah konkret dan strategis, salah satunya dengan merumuskan tatanan baru. Dan tentu saja kita berharap pandemi segera berlalu.
Sebagaimana dijelaskan selama kongres, pandemi Covid-19 sudah sampai pada level mendekonstruksi tataran budaya manusia. Tidak hanya kebudayaan semata, tetapi ekososial politik juga terdekonstruksi. Untuk itu, ada beberapa hal terkait rumusan kongres agar bisa berkontribusi terhadap paradigma baru Indonesia pascapandemi.
Pertama, melalui kongres kita berharap bisa mengidentifkasi nalar tebal kebudayaan masyarakat desa, seperti gotong royong atau holopis kuntul baris, saling peduli antarsesama masyarakat desa, sekaligus membaiknya ekosistem politik di mana masyarakat desa mampu berpartisipasi terhadap pembangunan bangsa dan negara.
Kedua, kongres diharapkan mampu berkontribusi untuk pemikiran nalar kebudayaan baru yang otentik, unik, dan inovatif yang hari-harinya dijalankan masyarakat desa. Dengan kata lain, di balik keriuhan negara mengurusi problem bangsa, masyarakat desa punya model dan modul pendekatan khas yang berasal dari cara mereka menghadapi persoalan. Ini problem solving yang spesifk khas desa, contoh ketika ada masalah tidak terlalu berat, cukup selesai di desa. Hukum positif tidak selalu menjadi rujukan. Misalnya, ada pencuri ayam, tidak serta-merta diurus ke kantor polisi, dimasukkan sel. Melainkan diselesaikan di desa dengan sanksi sosial yang diputuskan oleh kepala desa, yang karena kemampuan dan kewibawaan yang dimilikinya sehingga keputusan diterima oleh masyarakat.
Ketiga, forum Kongres Kebudayaan Desa yang melibatkan beragam unsur keterwakilan: akademisi, praktisi, seniman, budayawan, pemangku adat, dan elemen pemerintahan dari pusat sampai desa. Untuk itu, saya berharap agar semua unsur saling berkolaborasi. Para praktisi menceritakan bagaimana desa melaksanakan kenormalan baru di desa. Akademisi bisa mereformulasi dan meredesain bagaimana kebijakan yang adaptif bagi desa. Sebagai keterwakilan pemerintah, kami berharap ada perhatian khusus pascakongres agar lebih serius dan terelaborasi dengan kebijakan untuk kesejahteraan desa di Indonesia.
Terakhir, kami dari Kemendesa PDTT terus mencari dan mengidentifikasi narasi tentang desa, masyarakat desa, dan dinamikanya mengikuti perkembangan zaman yang bisa kita formulasikan menjadi kebijakan. Tagline “Desa untuk Semua Warga atau Desa Surga” merupakan inti sari pemajuan kebudayaan desa, pemajuan masyarakat desa dengan memperhatikan kearifan lokal. Dana desa jangan hanya dirasakan elite desa, tetapi dirasakan kehadirannya oleh seluruh masyarakat desa, itu inti dari surga, desa untuk semua warga desa.
Terima kasih kepada Sanggar Inovasi Desa, pemerintah Desa Panggungharjo, dan Jaringan Kerja Kongres Kebudayaan Desa 2020 yang telah mempersiapkan dan melaksanakan kongres dengan segala risiko dan konsekuensinya. Semoga kongres dengan hasil rumusannya yang terbingkai dalam 21 judul buku ini menjadi momentum berarti bagi perubahan dan penguatan budaya desa di masa yang akan datang. Demikian sekapur sirih dari kami, kurang lebihnya mohon maaf, salam budaya desa.
Menteri Desa, PDTT
Dr. Hilmar Farid
Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua, om swastyastu, namo buddhaya, salam keRevolusi perdesaan sejatinya adalah revolusi kebudayaan.
Bapak, ibu, dan peserta kongres yang saya hormati. Terima kasih telah mengundang saya dan memberi kesempatan bicara di depan Kongres Kebudayaan Desa. Saya baca kerangka acuan dengan saksama, saya melihat kebudayaan tidak dipahami semata kesenian atau warisan budaya. Namun, juga sebagai keseluruhan cara hidup, cara berpikir menyangkut kebiasaan kita, ritual, dan praktik yang terkait kebudayaan. Jadi kebudayaan dalam pengertian luas, sama seperti semangat dari UU No. 5/2017, tentang pemajuan kebudayaan Indonesia.
Pertama, kita paham bagaimana Pandemi Covid-19 mengubah cara hidup kita secara drastis. Kita membatasi pertemuan dengan orang lain, bersentuhan dengan orang lain, menjaga jarak, dan kita juga punya beberapa keseragaman. Physical distancing, lockdown, dan seterusnya, semua masih dalam bahas Inggris, bahasa asing. Ini menunjukkan respons kita pada situasi pandemi masih cenderung datang dari luar, belum sepenuhnya menjadi sesuatu yang berakar pada masyarakat kita, dari dalam. Padahal kita mempunyai khazanah pengetahuan luar biasa menghadapi situasi pandemi. Tidak sedikit orang mengatakan, situasi yang kita hadapi tidak ada bandingannya.
Kedua, pada situasi luar biasa, kita perlu langkah-langkah luar biasa juga. Pemikir Inggris mengatakan, untuk mengatasi situasi Covid-19, kita perlu sebuah revolusi perdesaan. Revolusi ini landasan kita untuk tatanan masa depan. Karena revolusi bukan sesuatu luar biasa. Dalam sejarah Indonesia, kita sering mendengar seruan revolusi, terakhir revolusi mental. Jadi, tidak ada yang luar biasa dengan gagasan revolusi. Yang luar biasa adalah ketika gagasannya diutarakan oleh seorang bankir. Orang terkaya kedua di desa.
Gagasan mengenai revolusi perdesaan bisa kita tengok dalam sebuah tulisan yang dimuat di situs World Economic Forum. Ini keluar dari kebiasaan lain, forum ekonomi dunia dikenal oleh kepala pemerintahan dunia sebagai kumpulan para pebisnis, ekonom, yang membentuk sistem untuk mendominasi, jelas bukan forum untuk revolusi. Kita tidak mungkin kembali ke masa sebelum Covid-19, ke masa yang sebelum normal lama, dan kita perlu sebuah tantangan baru, tantangan yang lebih manusiawi, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Karena kata kunci tatanan baru adalah keselamatan.
Bisa dibayangkan, ketika semua orang mendapat kesempatan mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup. Kita akan mudah sekali bersepakat untuk hal tersebut. Namun, bagaimana caranya? Jawaban paling jujur kita berikan pada pertanyaan mendasar yang kita belum ketahui bersama. Belum ada yang mengetahui bagaimana caranya untuk bisa sampai ke sana, karena tidak ada atau tepatnya belum ada cetak biru siap pakai. Namun, coba kita pastikan titik tolaknya ada pada desa. Perjalanan kita sebagai masyarakat, sebagai bangsa, dimulai dari desa. Sekitar 1550 tahun lalu, asal mula pengelompokan masyarakat dalam jumlah besar yang kemudian membentuk bangsa Indonesia. Periode selanjutnya ketika kita ingin membangun negeri modern, tetapi desa dilupakan, diabaikan. Seluruh sumber daya kita keluarkan untuk membangun sektor modern yang oleh Covid-19, diingatkan untuk kembali ke asal usul, kembali ke dasar, kembali ke akar, kembali ke desa, itu alasan utama.
Alasan berikutnya, desa telah menyiapkan kebutuhan dasar untuk normal baru, terutama pangan dan kesehatan. Dua hal pokok ini tidak boleh diserahkan semua pada pasar. Ketika pembatasan sosial diberlakukan, kemudian ada orang panik memborong bahan pangan dan obat-obatan, termasuk yang tidak diperlukan. Sementara yang memerlukan tidak bisa membeli. Penyelesaian masalah seperti ini tidak sesederhana menangani penyelewengan, tapi ada kelemahan dalam sistem yang harus diperbaiki. Ini semata bukan soal mafa impor beras maupun gas—yang memang harus disingkirkan. Namun, ada yang lebih penting, yaitu menata ulang sistem yang berpihak, yang bisa menegakkan kedaulatan di atas sistem itu sendiri sehingga mengembalikan kemampuan kita mengelola sumber daya yang ada. Fokus utamanya untuk pemenuhan kebutuhan kita semua, terutama kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, bolehlah berbagi dengan negara tetangga, negara sahabat.
Dan saya kira, yang berkumpul sekarang di kongres, adalah para pejuang akar rumput yang sudah lama menekuni masalah ketimpangan dan penyelewengan, yang bergerak mengurus memuliakan kembali benih-benih lokal. Ada yang terlibat praktik agro ekonomi, ada yang mengurus pasar lokal dan nasional untuk melayani kebutuhan masyarakat, penggerak koperasi usaha kecil, BUMDes, semua elemen yang diperlukan dalam tatanan mendatang. Saatnya, kita belajar kembali dari kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan. Hemat saya, ini kerja-kerja kebudayaan.
Pengetahuan tradisional di masa pandemi terlihat memiliki keunggulan. Kasus Covid-19 banyak sembuh karena obat tradisional. Balitbang pertanian sudah identifkasi 50 tanaman herbal untuk penangkal virus. Beberapa perusahaan jamu sudah memproduksi ramuan daya tahan tubuh untuk menghadapi Covid-19. Semua bukan sekadar romantisme, tapi pikiran rasional. Kita tidak mungkin diam menunggu vaksin datang. Sekarang, di banyak tempat, orang-orang mulai menggali pengetahuan dari naskah-naskah, tradisi lisan, dan berbagai praktik lainnya untuk memperkuat daya tahan terhadap virus. Dan dalam prosesnya, kita menyadari betapa pengetahuan lokal yang selama ini diabaikan ternyata memiliki potensi pengembangan yang luar biasa.
Covid-19 telah memaksa kita melihat kembali jejak dan perjalanan kita. Covid-19 sudah mendesak kita memanfaatkan kekayaan budaya dan intelektual yang kita miliki. Memanfaatkan teknologi mutakhir, bermacam teknologi terbaru, temuan di berbagai bidang, kesehatan, pangan, energi terbarukan, dan pada akhirnya seluruhnya diharapkan bisa menghasilkan pengetahuan sebagai landasan untuk tatanan baru.
Kalau kita tengok lebih jauh, seluruh praktik baik tatanan baru, mempunya nilai ekonomi yang sangat besar. Sebagai contoh, pengobatan berbasis pengetahuan lokal sekarang disebut pengobatan integratif dengan nilai total di dunia mencapai 360 Miliar Dolar. Padahal pengetahuan integratif hanya bagian kecil saja dari industri yang disebut wellness industry yang mencakup banyak hal: ada perawatan diri, makanan sehat, pariwisata, dan total nilainya diperkirakan sudah 4,2 Triliun Dolar. Itu data sebelum Covid-19. Dan menurut hemat saya, di masa Covid-19 justru industri berbasis pengetahuan lokal di bidang kesehatan, bidang keselamatan akan semakin berkembang. Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik mengenai kesehatan.
Dalam sebuah studi dan riset, telah memperlihatkan bahwa 40% dari nilai total 4,2 Triliun Dolar atau 1,7 Triliun Dolar Amerika, sama besarnya dengan 25 Ribu Triliun Rupiah. Dan pada tahun 2023 kelak, nilai tersebut akan berada di Asia Pasifk. Jadi, kue yang cukup besar dari industri Wellness tersebut akan ada di Asia Pasifk. Pertanyaannya kemudian, Indonesia sebagai sektor perekonomian terbesar keenam di Asia Pasifk apa rencananya? Padahal, relatif kita punya semua. Keanekaragaman hayati luar biasa, salah satu yang paling besar dan lengkap di dunia. Pengetahuan lokal mengelola alam juga luar biasa. Dan jangan lupa, banyak penemuan di bidang kesehatan modern pun dilakukan di Indonesia. Para peneliti dari berbagai belahan dunia datang ke Indonesia, berinteraksi dengan orang desa, mencatat kebiasaan mereka, kemudian menghasilkan temuan yang sampai sekarang masih punya pengaruh besar dalam kedokteran modern.
Itu semua kita punya, tapi pertanyaannya, apa rencana kita? Saya percaya bahwa fokus para pengembang Wellness di Indonesia akan membawa angka pertumbuhan kembali bergerak naik, tapi hendaknya harapan besar ini jangan sampai mengalihkan fokus kita. Kita membangun tatanan baru bukan untuk menjadi yang paling besar. Presiden Jokowi dalam sidang IMF mengingatkan dengan sebuah pertanyaan retoris, untuk apa menjadi yang paling besar di tengah dunia yang tenggelam?
Bapak, ibu, dan peserta kongres yang saya hormati. Tatanan baru yang kita rumuskan memang seharusnya mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan, itu kata kuncinya. Bukan angka pertumbuhan, bukan uang. Covid-19 mengingatkan kita semua bahwa uang bukan segalanya. Punya uang tapi tidak ada yang bisa dibeli, itu pelajaran berharga di masa krisis pandemi. Semua tidak mudah. Kita terbiasa dengan peralatan modern, termasuk uang.
Mengubah cara pandang dan kebiasaan memerlukan perubahan mendasar, perubahan kebudayaan. Karena itu revolusi perdesaan sejatinya adalah revolusi kebudayaan.
Benih-benih kebiasaan baru, kebudayaan baru sudah mulai bertumbuhan. Di tengah pembatasan sosial, kita mulai melihat orang kembali ke alam, bercocok tanam. Kita menangkap ada kerinduan untuk kembali belajar sejarah, kembali belajar kebudayaan, tradisi spiritual dan praktik dalam bermasyarakat. Gerakan sosial juga bertumbuhan di mana-mana. Di Yogyakarta contohnya, ada gerakan Solidaritas Pangan Jogja: membangun dapur umum untuk membantu masyarakat kesusahan. Kita mencatat para seniman memproduksi alat kesehatan seperti Alat Pelindung Diri (APD) dan face shield yang terjangkau.
Revolusi perdesaan sudah dimulai. Tugas kita dan tugas kongres kita ini, untuk merajut inisiatif menjadi gerakan efektif. Merajut science mutakhir dengan pengetahuan tradisional. Kita merajut teknologi digital dengan pranata lokal. Gerakan ini adalah gerakan interdisipliner, karena tidak ada bidang ilmu atau sektor masyarakat yang bisa menjalankan tugas besar sendirian. Di sinilah semangat gotong royong akan mendapatkan wujud nyata.
Terakhir sebagai penutup, saya memohon bantuan para pegiat desa, para aktivis kepala desa, kepala daerah yang hadir dalam kesempatan kongres ini, untuk memperhatikan balai kebudayaan di desa. Sebagian dari kita punya padepokan, sanggar, dan seterusnya. Saya sangat memohon bantuan kita semua agar seluruh institusi ini bisa bertahan di masa sulit. Bagi yang belum punya padepokan, sanggar, mohon bantuan agar kantor desa juga bisa berfungsi sebagai balai kebudayaan pusat pemajuan kebudayaan, bukan soal gedung fsik, tapi program dan kegiatannya. Di sinilah harapan saya kita bisa mulai melancarkan revolusi kebudayaan melalui musyawarah, lumbung pengetahuan. Di sinilah saya berharap kreativitas dan energi pembaruan bisa berkonsolidasi. Perangkat desa bisa menjadi agen pemajuan kebudayaan di wilayah setempat, kami siap kerja sama dengan seluruh unsur. Semoga setelah kongres, kita bisa menghasilkan agenda aksi konkret di tatanan baru. Terima kasih. Wassalam.
Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud
Berikut kami bagikan buku desa hasil Kongres Kebudayaan Desa tahun 2020 yang dengan judul buku Buku Putih dengan tema Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa, Kongres Kebudayaan Desa Tahun 2020 - Buku Putih bisa Anda download secara gratis dalam web ini.
No. | Buku | Judul | Keterangan |
---|---|---|---|
01. | ARAH TATANAN BARU | Hidup di Era Pandemi dan Sesudahnya | Download |
02. | EKONOMI BERKEADILAN | Perekonomian dan Kemandirian | Download |
03. | PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN | Membalik Paradigma Pendidikan Urban | Download |
04. | KESEHATAN SEMESTA | Menghadirkan Kembali Kesehatan yang Setara | Download |
05. | KEAMANAN DAN KETERTIBAN | Menghadirkan Rasa Aman dan Perlindungan Masyarakat | Download |
06. | PEREMPUAN DAN ANAK | Pemberdayaan dan Perlindungan Masa Depan yang Inklusif | Download |
07. | KEDAULATAN PANGAN | Merdeka Pangan, Sandang, dan Papan | Download |
08. | PEMUDA | Merekrontuksi Ulang Formasi Strategis Pemuda | Download |
09. | AGAMA | Transformasi dari Ritus ke Subtansi | Download |
10. | KEBUDAYAAN | Mengkonstruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban | Download |
11. | TATA RUANG DAN INFRASTRUKTUR | Negoisasi Ulang Peta Ruang dan Lingkungan Pemukiman | Download |
12. | REFORMASI BIROKRASI | Merumuskan Tata Birokrasi yang Compatible | Download |
13. | HUKUM DAN POLITIK | Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia | Download |
14. | ANTI KORUPSI DAN AKUNTABILITAS | Sistem dan Habitus Transparansi | Download |
15. | DATAKRASI | Meningkatkan Kualitas Hidup Berbasis Data | Download |
16. | KELUARGA | Peran Strategis Keluarga dalam Pemuliaan Martabat Manusia | Download |
17. | KEWARGAAN (CITIZENSHIP) | Pola Relasi Baru Warga dan Negara | Download |
18. | KOMUNIKASI, MEDIA, DAN INFLUENCER | Kebijakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan | Download |
19. | INKLUSI SOSIAL | Mewujudkan Masyarakat Inklusif | Download |
20. | KEBHINEKAAN DESA-DESA NUSANTARA | Perspektif Masyarakat Adat | Download |